oleh : DR. Aswandi
Allah subhanahu wata'ala berfirman :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Artinya :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan orang yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar. Dan mereka itulah orang yang beruntung” (QS.Ali ‘Imran:104).
Ayat di
atas mengindikasikan, bahwa ada diantara kita diberi hak dan kewenangan moral
untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
Pesan moral tersebut pernah dilakukan oleh bangsa ini antara lain yang lebih dikenal dengan “National Character Building”. Kenyataannya lebih dari setengah abad usia kemerdekaan ini, tampaknya karakter bangsa ini masih saja dalam kondisi jongkok atau kurang mengalami kemajuan yang berarti, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa karakter bangsa ini mengalami kemunduran.
Menyadari akan hal tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional mereaktualisasi pendidikan karakter. Sejak itu, pendidikan karakter menjadi tema atau topik pembicaraan dari seminar ke seminar, dari lokakarya ke lokakarya.
Terkait tema dan topik pendidikan karakter, Prof. Dr. Muchlas Samani ketika menjabat sebagai Direktur Ketenagaan Dirjen Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan karakter dan pendidikan sejenisnya; pendidikan akhlak mulia, pendidikan budi pekerti dan pendidikan moral sangat dipengaruhi oleh guru sebagai pendidik. Sebelum lebih jauh berharap pada perbaikan karakter, akhlak, moral, dan budi pekerti peserta didik, maka terlebih dahulu guru sebagai pendidik harus berkarakter yang lebih baik, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan bermoral terpuji. Misi mulia tersebut hanya dapat dicapai apabila guru sebagai pendidik tidak “Kehilangan Hak Moralnya”.
Pada waktu itu beliau memberi contoh seorang guru yang sudah kehilangan hak moral di negeri ini adalah guru yang menggunakan ijazah kesarjanaan yang diperolehnya dari lembaga dan/atau melalui proses yang ilegal, dan guru yang kurang disiplin dalam melaksanakan tugasnya. Secara jujur harus kita akui, kita masih memercayakan profesi keguruan ini kepada seseorang “guru” (dalam tanda kutip). "Guru" tersebut sesungguhnya telah kehilangan hak moralnya untuk berdiri di depan kelas sebagai pendidik, bukankah terhadap guru malas dan kurang disiplin belum dikenakan sanksi, dan tetap saja diberikan haknya sebagaimana diberikan kepada guru professional dan bermartabat.
Memerhatikan kehidupan masyarakat sekarang ini, ternyata tidak hanya guru yang dikatakan telah kehilangan hak moralnya tetapi juga masih banyak pihak lain mengalami hal yang sama, seperti orang tua dan para pemimpin.
Pendidikan belum dilaksanakan dengan contoh dan keteladanan, padahal keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak. Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya. Anak melihat orang tuanya berdusta, ia tak mungkin belajar jujur. Melihat orang tuanya berkhianat, ia tak mungkin belajar amanah. Melihat orang tuanya selalu memperturutkan hawa nafsu, ia tak mungkin belajar keutamaan. Mendengar orang tuanya berkata kufur, caci-maki, dan celaan, ia tak mungkin belajar bertutur santun dan manis. Melihat kedua orang tuanya marah dan bertegang urat syaraf, ia tak mungkin belajar sabar, dan melihat kedua orangtuanya bersikap keras dan bengis, ia tak mungkin belajar kasih sayang”.
Al-Maghribi (2004) mengutip ungkapan penyair Arab, “Kamu jelaskan obat kepada yang sakit agar ia sehat sementara anda sendiri sakit...”. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44; “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berfikir?”
Dalam kasus lain, kita sering menyaksikan banyak pemimpin yang memberikan nasihat, teguran dan peringatan kepada pengikutnya agar tidak melakukan sesuatu tindakan yang menyimpang, tidak baik dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Sementara dia sendiri selaku pemimpin sering kali melakukan sesuatu yang kurang baik, tidak terpuji, dan bertentangan atau melanggar ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Dia menyalahkan bawahannya, padahal dia sendiri lebih dahulu dan sering melakukan kesalahan, Dia katakan apa yang tidak dia perbuat, padahal sikap seperti itu dilarang agama manapun. Dalam peribahasa lama dikatakan; “Maling Teriak Maling”.
Mereka telah gagal menjadi sesorang pemimpin, dan mereka lebih tepat disebut sebagai sang penguasa. John Adair (2010) dalam bukunya “Kepemimpinan Muhammad” menegaskan “Anda bisa ditunjuk menjadi penguasa, gubernur, komandan, atau manajer, tetapi anda belum menjadi seorang pemimpin sampai penunjukan anda disetujui hati dan pikiran mereka yang menjadi pengikut anda atau mereka yang berada di bawah anda”
Terhadap pemimpin yang seperti itu, John Adair (2010) menyebutnya sebagai pemimpin yang telah “Kehilangan Wewenang Moral”, Sebaliknya contoh pemimpin sejati yang memiliki hak dan kewenangan moral dikemukakan oleh Lao Tze abad ke-6 Sebelum Masehi; “Zaman dulu, para jenderal besar selalu berada di garis depan, mereka tidak berada di bawah atap ketika panas dan tidak memakai baju tebal ketika dingin sehingga mereka mengalami panas dan dingin seperti prajurit. Mereka tidak berkuda di medan berat, selalu turun dari kuda kalau mendaki bukit sehingga merasa sama-sama bersusah payah dengan para prajurit. Mereka makan sesudah makanan dimasak untuk pasukan dan mereka minum air sesudah air diambil untuk pasukan sehingga mereka merasakan lapar dan haus seperti para prajurit.Jika ada orang kelaparan di negerinya, maka dialah orang pertama yang merasakan kelaparan itu. Dalam pertempuran, seorang pemimpin berada di jarak tembak musuh sehingga mereka mengalami ancaman bahaya yang sama dengan para prajurit, Paling baik bagi seorang pemimpin, kalau rakyat tidak sadar bahwa ia ada. Pemimpin yang baik tidak banyak bicara. Ketika pekerjaannya selesai, tujuannya sudah tercapai. Mereka semua akan berkata, “Kami lakukan ini sendiri”.
Pemimpin yang memiliki hak dan kewenangan moral adalah seorang pemimpin teladan, karena ia menyadari bahwa teladan bagi seorang pemimpin adalah segalanya.
Sulitnya memperbaiki bangsa yang mengalami keterpurukan dan kelemahan selama ini adalah akibat dari hilangnya hak moral dari diri seseorang, terutama diri mereka yang diamanahkan menjadi pemimpin dan siapa saja yang diberi tugas dan kewenangan untuk menegakkan moral, tetapi mereka mengingkarinya.
Sesungguhnya ketika seseorang sudah tidak bisa menjadi contoh karena perilaku menyimpang yang sering dilakukannya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan hak moral untuk beramar makruf dan bernahi mungkar. Dalam profesi apapun yang kita jalani, memiliki atau upayakan agar tidak kehilangan hak moral, yakni tetap berusaha memohon bimbingan dan petunjuk kepadaNya karena moralitas ini bersifat turun naik (Penulis adalah Dekan FKIP Untan tahun 2002 - 2014)
Pesan moral tersebut pernah dilakukan oleh bangsa ini antara lain yang lebih dikenal dengan “National Character Building”. Kenyataannya lebih dari setengah abad usia kemerdekaan ini, tampaknya karakter bangsa ini masih saja dalam kondisi jongkok atau kurang mengalami kemajuan yang berarti, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa karakter bangsa ini mengalami kemunduran.
Menyadari akan hal tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional mereaktualisasi pendidikan karakter. Sejak itu, pendidikan karakter menjadi tema atau topik pembicaraan dari seminar ke seminar, dari lokakarya ke lokakarya.
Terkait tema dan topik pendidikan karakter, Prof. Dr. Muchlas Samani ketika menjabat sebagai Direktur Ketenagaan Dirjen Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan karakter dan pendidikan sejenisnya; pendidikan akhlak mulia, pendidikan budi pekerti dan pendidikan moral sangat dipengaruhi oleh guru sebagai pendidik. Sebelum lebih jauh berharap pada perbaikan karakter, akhlak, moral, dan budi pekerti peserta didik, maka terlebih dahulu guru sebagai pendidik harus berkarakter yang lebih baik, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan bermoral terpuji. Misi mulia tersebut hanya dapat dicapai apabila guru sebagai pendidik tidak “Kehilangan Hak Moralnya”.
Pada waktu itu beliau memberi contoh seorang guru yang sudah kehilangan hak moral di negeri ini adalah guru yang menggunakan ijazah kesarjanaan yang diperolehnya dari lembaga dan/atau melalui proses yang ilegal, dan guru yang kurang disiplin dalam melaksanakan tugasnya. Secara jujur harus kita akui, kita masih memercayakan profesi keguruan ini kepada seseorang “guru” (dalam tanda kutip). "Guru" tersebut sesungguhnya telah kehilangan hak moralnya untuk berdiri di depan kelas sebagai pendidik, bukankah terhadap guru malas dan kurang disiplin belum dikenakan sanksi, dan tetap saja diberikan haknya sebagaimana diberikan kepada guru professional dan bermartabat.
Memerhatikan kehidupan masyarakat sekarang ini, ternyata tidak hanya guru yang dikatakan telah kehilangan hak moralnya tetapi juga masih banyak pihak lain mengalami hal yang sama, seperti orang tua dan para pemimpin.
Pendidikan belum dilaksanakan dengan contoh dan keteladanan, padahal keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak. Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya. Anak melihat orang tuanya berdusta, ia tak mungkin belajar jujur. Melihat orang tuanya berkhianat, ia tak mungkin belajar amanah. Melihat orang tuanya selalu memperturutkan hawa nafsu, ia tak mungkin belajar keutamaan. Mendengar orang tuanya berkata kufur, caci-maki, dan celaan, ia tak mungkin belajar bertutur santun dan manis. Melihat kedua orang tuanya marah dan bertegang urat syaraf, ia tak mungkin belajar sabar, dan melihat kedua orangtuanya bersikap keras dan bengis, ia tak mungkin belajar kasih sayang”.
Al-Maghribi (2004) mengutip ungkapan penyair Arab, “Kamu jelaskan obat kepada yang sakit agar ia sehat sementara anda sendiri sakit...”. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44; “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berfikir?”
Dalam kasus lain, kita sering menyaksikan banyak pemimpin yang memberikan nasihat, teguran dan peringatan kepada pengikutnya agar tidak melakukan sesuatu tindakan yang menyimpang, tidak baik dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Sementara dia sendiri selaku pemimpin sering kali melakukan sesuatu yang kurang baik, tidak terpuji, dan bertentangan atau melanggar ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Dia menyalahkan bawahannya, padahal dia sendiri lebih dahulu dan sering melakukan kesalahan, Dia katakan apa yang tidak dia perbuat, padahal sikap seperti itu dilarang agama manapun. Dalam peribahasa lama dikatakan; “Maling Teriak Maling”.
Mereka telah gagal menjadi sesorang pemimpin, dan mereka lebih tepat disebut sebagai sang penguasa. John Adair (2010) dalam bukunya “Kepemimpinan Muhammad” menegaskan “Anda bisa ditunjuk menjadi penguasa, gubernur, komandan, atau manajer, tetapi anda belum menjadi seorang pemimpin sampai penunjukan anda disetujui hati dan pikiran mereka yang menjadi pengikut anda atau mereka yang berada di bawah anda”
Terhadap pemimpin yang seperti itu, John Adair (2010) menyebutnya sebagai pemimpin yang telah “Kehilangan Wewenang Moral”, Sebaliknya contoh pemimpin sejati yang memiliki hak dan kewenangan moral dikemukakan oleh Lao Tze abad ke-6 Sebelum Masehi; “Zaman dulu, para jenderal besar selalu berada di garis depan, mereka tidak berada di bawah atap ketika panas dan tidak memakai baju tebal ketika dingin sehingga mereka mengalami panas dan dingin seperti prajurit. Mereka tidak berkuda di medan berat, selalu turun dari kuda kalau mendaki bukit sehingga merasa sama-sama bersusah payah dengan para prajurit. Mereka makan sesudah makanan dimasak untuk pasukan dan mereka minum air sesudah air diambil untuk pasukan sehingga mereka merasakan lapar dan haus seperti para prajurit.Jika ada orang kelaparan di negerinya, maka dialah orang pertama yang merasakan kelaparan itu. Dalam pertempuran, seorang pemimpin berada di jarak tembak musuh sehingga mereka mengalami ancaman bahaya yang sama dengan para prajurit, Paling baik bagi seorang pemimpin, kalau rakyat tidak sadar bahwa ia ada. Pemimpin yang baik tidak banyak bicara. Ketika pekerjaannya selesai, tujuannya sudah tercapai. Mereka semua akan berkata, “Kami lakukan ini sendiri”.
Pemimpin yang memiliki hak dan kewenangan moral adalah seorang pemimpin teladan, karena ia menyadari bahwa teladan bagi seorang pemimpin adalah segalanya.
Sulitnya memperbaiki bangsa yang mengalami keterpurukan dan kelemahan selama ini adalah akibat dari hilangnya hak moral dari diri seseorang, terutama diri mereka yang diamanahkan menjadi pemimpin dan siapa saja yang diberi tugas dan kewenangan untuk menegakkan moral, tetapi mereka mengingkarinya.
Sesungguhnya ketika seseorang sudah tidak bisa menjadi contoh karena perilaku menyimpang yang sering dilakukannya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan hak moral untuk beramar makruf dan bernahi mungkar. Dalam profesi apapun yang kita jalani, memiliki atau upayakan agar tidak kehilangan hak moral, yakni tetap berusaha memohon bimbingan dan petunjuk kepadaNya karena moralitas ini bersifat turun naik (Penulis adalah Dekan FKIP Untan tahun 2002 - 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar